Jakarta, Go.TeropongRakyat.co – Kegiatan vaksinasi Demam Berdarah (DBD) menggunakan vaksin Qdenga di SDN Menteng Atas 14, Jalan Minangkabau Dalam No.15, Menteng Atas, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Pasalnya, kegiatan yang digelar bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) dan Puskesmas Setiabudi itu diduga sarat kejanggalan dan minim transparansi.
Kepala Sekolah SDN Menteng Atas 14, Siti Chusnul Chotimah, bersama wakil kepala sekolah, mengaku bahwa pihaknya hanya memberikan fasilitas tempat tanpa turut bertanggung jawab atas pelaksanaan vaksinasi. Bahkan, pihak sekolah sempat menolak kegiatan tersebut namun tetap dilanjutkan oleh pihak penyelenggara.
Lebih mengkhawatirkan lagi, salah satu orang tua murid menyampaikan keluhan serius karena pihak dokter dan penyelenggara menolak memberikan surat pertanggungjawaban tertulis jika muncul efek samping atau dampak kesehatan setelah vaksinasi. Padahal, hal ini jelas melanggar Pasal 190 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mewajibkan setiap kegiatan imunisasi mendapatkan persetujuan dan informasi lengkap (informed consent) dari penerima atau wali murid.
Ironisnya, muncul kabar bahwa orang tua yang setuju anaknya divaksin diberi uang Rp350.000. Pihak sekolah menyebut uang itu sebagai “pengganti transportasi”, sementara seorang dokter bernama Alex, yang turut hadir dalam kegiatan tersebut, menyatakan uang itu adalah “biaya pemantauan hasil vaksin”. Dua keterangan berbeda ini menimbulkan kecurigaan serius soal transparansi dan etika pelaksanaan kegiatan tersebut.
Tak berhenti di situ, orang tua yang menolak vaksinasi justru diminta menandatangani surat pernyataan penolakan, yang secara psikologis bisa dianggap sebagai bentuk tekanan terselubung. Praktik semacam ini bertentangan dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan tidak menyesatkan.
Kecurigaan makin menguat ketika tim redaksi Go.TeropongRakyat.co dilarang meliput langsung kegiatan vaksinasi. Saat dikonfirmasi, dokter Alex hanya menjawab singkat bahwa “rilis resmi nanti akan diberikan dari atas.” Pernyataan tersebut justru memunculkan tanda tanya besar — siapa pihak “atas” yang dimaksud? Dan mengapa kegiatan publik seperti vaksinasi di sekolah negeri harus ditutup-tutupi dari media?
- Advertisement -
Kegiatan yang semestinya berorientasi pada kesehatan dan keselamatan anak-anak kini justru berubah menjadi ajang penuh misteri, ketidakterbukaan, dan dugaan pelanggaran hukum. Pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Kesehatan RI, harus segera turun tangan melakukan investigasi menyeluruh untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan program kesehatan di lingkungan pendidikan.
Transparansi, izin resmi, dan tanggung jawab hukum adalah fondasi utama dalam setiap kegiatan medis. Jika prinsip itu diabaikan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya integritas lembaga pendidikan dan tenaga medis, tetapi juga keselamatan anak-anak bangsa.

